Politik pendidikan karakter dan dampaknya terhadap pembelajaran dalam sistem pendidikan Indonesia
Indonesia telah melaksanakan berbagai reformasi pendidikan berskala besar selama dua dekade terakhir, termasuk belanja negara yang meningkat hingga tiga kali lipat (Beatty et al., 2018). Investasi negara di bidang pendidikan telah menghasilkan keseimbangan gender dan angka partisipasi sekolah yang hampir universal, khususnya di tingkat sekolah dasar. Namun, masih terdapat tantangan besar dalam meningkatkan hasil pembelajaran.
Prestasi siswa Indonesia dalam sains, matematika, dan membaca termasuk yang terendah di antara negara-negara yang berpartisipasi dalam Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) pada tahun 2015 (Organization for Economic Co-operation and Development, 2016). Penilaian Nasional Indonesia Program (INAP) tahun 2016 juga menunjukkan 77 persen siswa sekolah dasar belum menguasai dasar-dasar matematika. Sekitar 73 persen siswa tidak mengetahui sains. dan hampir 50 persen memiliki pemahaman bacaan yang rendah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016). Namun yang mungkin mengejutkan, dalam pertanyaan kami kepada para pendidik dari tingkat nasional hingga sekolah mengenai isu-isu sulit dalam pendidikan, saya tidak menyebutkan sedikit pun tentang rendahnya hasil kinerja akademis.
Sebaliknya, para pemangku kepentingan ini menekankan isu-isu lain yang berdampak pada siswa, seperti kemerosotan moral yang tercermin dalam kekerasan. (termasuk perundungan), penggunaan narkoba, seks bebas, dan kehamilan remaja. Para pembuat https://imigrasitanjungpinang.com/ kebijakan di tingkat nasional sangat prihatin dengan adanya kecurangan sistematis dalam ujian nasional. Dalam pandangan mereka, kebutuhan untuk mengatasi permasalahan sosial dalam pendidikan dibayangi oleh urgensi untuk mengatasi hasil pembelajaran yang buruk. Penggambaran penyakit sosial di media dapat memengaruhi persepsi para politisi, pengambil keputusan, dan pendidik mengenai urgensi permasalahan ini (Damaledo, 2017; Permana, 2017).
Misalnya saja perundungan (bullying) yang mengakibatkan kematian atau luka fisik dan mental pada siswa yang banyak diberitakan di media (Rahayu, 2017; Tanjung, 2017; Wasono, 2018). Survei Kesehatan Siswa Berbasis Sekolah Global (GSHS) tahun 2015 menemukan bahwa 20,6 persen siswa berusia 13 hingga 17 tahun di Indonesia pernah mengalami perundungan setidaknya satu hari dalam 30 hari sebelum survei. Dari mereka yang disurvei, 24,1 persen anak laki-laki dan 17,4 persen anak perempuan mengatakan bahwa mereka pernah ditindas (Organisasi Kesehatan Dunia, 2015). Pada tahun 2015, Otoritas Perlindungan Anak (KPA) mengumumkan bahwa meskipun jumlah kasus kekerasan terhadap anak menurun, namun jumlah kasus perundungan justru meningkat. Bullying kini juga terjadi di sekolah dasar (Aulia, 2016).
Di Indonesia, kini semakin banyak generasi muda yang aktif secara seksual di luar nikah, dengan adanya kasus seks bebas dan kehamilan yang tidak diinginkan (Utomo dan McDonald, 2009, dikutip dalam Utomo dan Utomo, 2013, hal. 3). Pada tahun 2010, Komisi Perlindungan Anak (KPA) melakukan survei terhadap 4.500 remaja di 12 kota di Indonesia. 63 persen anak perempuan melakukan hubungan seks dan 21 persen anak perempuan melakukan aborsi (Kusumaningsih, 2010, dikutip dalam Uomo dan Utomo, 2013, hal. 3).
Belakangan ini, banyak pemangku kepentingan yang meyakini bahwa permasalahan sosial Indonesia terletak pada rendahnya moralitas, religiusitas, dan nasionalisme di kalangan siswa, padahal sekolah negeri menyelenggarakan pendidikan pada mata pelajaran yang relevan. Sekolah diharapkan memainkan peran penting dalam mengatasi kekhawatiran yang sudah lama ada mengenai kemerosotan moral dan masalah sosial lainnya yang lebih luas.
Hal ini bukanlah sebuah perkembangan baru, juga bukan hal yang unik di Indonesia, karena sosialisasi nilai merupakan elemen penting dalam pendidikan di banyak masyarakat (Paglayan, 2017). Misalnya, pada tahun 1990an, Utomo dan McDonald (2009, dikutip dalam Utomo dan Utomo, 2013, hal. 3) menyatakan bahwa pendidikan yang lebih lama dapat menurunkan angka pernikahan dini di kalangan perempuan Indonesia secara signifikan.